Senin, 12 Desember 2011

#StandUpNite1 - Raditya Dika (Part 3 of 3)

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 01.26 0 komentar

#StandUpNite1 - Raditya Dika (Part 2 of 3)

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 01.22 0 komentar

#StandUpNite1 - Raditya Dika (Part 1 of 3)

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 01.14 0 komentar

#StandUpNite2 - Raditya Dika (Part 2 of 2)

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 01.09 0 komentar

#StandUpNite2 - Raditya Dika (Part 1 of 2)

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 01.07 0 komentar

BAB 5 Kata Kemalangan

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 00.50 0 komentar
KEDUA anak itu berdiri berhadapan di
seberang pilar tempat bel tadi tergantung.
Benda itu masih bergetar walau tidak lagi
mengeluarkan suara apa pun. Mendadak mereka
mendengar suara pelan dari ujung ruangan
yang masih tidak rusak. Mereka menoleh secepat
kilat untuk melihat suara apakah itu.
Salah satu sosok berjubah—sosok yang duduk
paling jauh, wanita yang menurut Digory cantik
sekali—berdiri dari kursinya. Ketika dia berdiri,
mereka menyadari wanita itu lebih tinggi daripada
dugaan mereka. Dan kau bakal bisa
langsung melihat, bukan hanya dari mahkota
dan jubahnya, tapi dari kilatan mata juga
lekuk bibirnya, wanita ini ratu agung. Dia
melihat ke sekeliling ruangan dan kerusakan
yang terjadi di sana, lalu memandang kedua

anak itu, tapi kau tidak bakal bisa menebak
dari ekspresi wajahnya apa yang sedang dia
pikirkan, apakah dia sedang terkejut atau tidak.
Dia berjalan ke depan dengan langkah-langkah
panjang dan cepat.

"Siapa yang telah membangunkanku? Siapa
yang telah mematahkan mantra?"

"Kurasa akulah orangnya," kata Digory.

"Kau!" kata sang ratu, meletakkan tangannya
di bahu Digory—tangannya putih dan indah,
tapi Digory bisa merasakan tangan itu juga
sekuat penjepit besi. "Kau? Tapi kau hanyalah
anak-anak, anak biasa. Hanya dengan pandangan
sekilas, siapa pun bisa langsung tahu
kau tidak memiliki setetes pun darah bangsawan
atau kemuliaan di nadimu. Kenapa anak
sepertimu berani memasuki rumah ini?"

"Kami datang dari dunia lain, dengan Sihir,"
kata Polly, yang berpikir sudah saatnya sang
ratu menyadari kehadirannya seperti dia menyadari
keberadaan Digory.

"Apakah ini benar?" tanya sang ratu, masih
memandangi Digory dan tidak melihat bahkan
sekilas pun ke Polly.

"Ya, itu benar," jawab Digory.

Sang ratu meletakkan tangannya yang lain
di bawah dagu Digory dan mengangkatnya
supaya bisa lebih jelas melihat wajah anak
lelaki itu. Digory berusaha balas menatap, tapi
tak lama kemudian dia harus menurunkan
pandangannya. Ada sesuatu dalam mata sang
ratu yang menguasainya. Setelah sang ratu
memerhatikan wajah Digory selama lebih dari
semenit, dia melepaskan dagu Digory dan berkata:


"Kau bukan penyihir. Tiada tanda penyihir
pada dirimu. Kau pasti hanya pelayan penyihir.
Karena Sihir lainlah kau bisa sampai di sini."

"Aku ada di sini karena pamanku, Paman
Andrew," kata Digory.


Tepat pada saat itu—bukan di ruangan tem-
pat mereka berada, tapi di suatu tempat yang
sangat dekat dari sana—terdengarlah suara runtuh
pertama, kemudian suara sesuatu retak,
lalu gemuruh bebatuan rubuh, dan lantai pun
bergetar.

"Terlalu berbahaya berada di sini," kata
sang ratu. "Seluruh tempat ini akan hancur.
Kalau kita tidak keluar dari sini sekarang,
dalam hitungan menit kita akan terkubur di
dalam reruntuhannya." Dia berbicara dengan
tenang seolah hanya sedang memberitahu jam
berapa sekarang. "Ayo," dia menambahkan
kemudian menjulurkan kedua tangannya ke
Digory dan Polly. Polly, yang tidak menyukai
sang ratu dan merasa agak merajuk, tidak
akan membiarkan tangannya diraih kalau saja
dia punya pilihan lain. Tapi walaupun sang
ratu berbicara dengan nada yang tenang, gerakannya
secepat pikiran. Sebelum Polly menyadari
apa yang sedang terjadi, tangan kirinya
telah ditangkap tangan yang jauh lebih besar
dan kuat daripada miliknya sehingga dia tidak
bisa melakukan apa-apa.

Wanita ini mengerikan sekali, pikir Polly.
Dia cukup kuat untuk mematahkan lenganku
hanya dengan satu puntiran. Dan sekarang

karena dia mencengkeram tangan kiriku, aku
tidak bisa mengambil cincin kuning. Kalau
aku berusaha menjulurkan tangan kananku ke
saku kiriku, aku mungkin bakal bisa meraihnya
sebelum dia menanyakan apa yang sedang kulakukan.
Apa pun yang terjadi kami tidak
boleh membiarkan dia tahu soal cincin-cincin
ini. Kuharap Digory masih berakal sehat dan
mampu menutup mulut. Kalau saja aku bisa
berbicara hanya berdua dengannya.

Sang ratu membimbing mereka keluar dari
Aula Sosok menuju koridor panjang kemudian
melalui labirin aula-aula lain, tangga-tangga,
dan lapangan. Lagi-lagi mereka mendengar
suatu bagian istana besar itu runtuh, terkadang
cukup dekat dengan mereka. Pernah sekali,
area besar roboh bersamaan bunyi keras hanya
beberapa saat setelah mereka berjalan melaluinya.
Sang ratu berjalan cepat—kedua anak itu
harus berlari kecil supaya bisa menyamai langkahnya—
tapi dia tidak menunjukkan tandatanda
ketakutan. Digory berpikir, dia berani
sekali. Juga kuat. Ini dia yang namanya ratu!
Mudah-mudahan dia mau menceritakan kisah
rempat ini.

Sang ratu memang memberitahu mereka beberapa
hal saat mereka berjalan:
"Itu pintu menuju penjara bawah tanah," 
dia akan berkata, atau "Jalan itu menuju 
ruang-ruang utama penyiksaan", atau "Di sini 
dulu aula jamuan pesta tempat kakek buyutku 
menjamu tujuh ratus bangsawan untuk berpesta 
pora kemudian membunuh mereka semua sebelum 
mereka menghabiskan minuman mereka. 
Mereka memiliki pikiran-pikiran memberontak." 

Akhirnya mereka sampai ke suatu aula yang 
lebih besar dan lengang daripada yang pernah 
mereka lihat sebelumnya. Dari ukuran dan 
bentuk pintu-pintu besar di ujung jauhnya, 
Digory berpikir akhirnya mereka telah sampai 
di pintu masuk utama. Dalam kasus ini dia 
benar. Pintu-pintu itu berwarna hitam kelam, 
mungkin terbuat dari kayu ebony atau semacam 
logam hitam yang tidak ditemukan di dunia 
kita. Pintu-pintu tersebut dipasung dengan 
palang-palang besar, yang sebagian besarnya 
terlalu tinggi untuk diraih dan terlalu berat 
untuk diangkat. Digory bertanya-tanya bagaimana 
caranya mereka akan keluar. 

Sang ratu melepaskan pegangannya dan 
mengangkat lengan. Dia menegakkan badan 
dan berdiri bergeming. Kemudian dia mengatakan 
sesuatu yang tidak bisa dimengerti kedua 
anak itu (yang pasti kedengarannya mengerikan) 
dan bergerak seolah melemparkan sesuatu ke 
pintu-pintu itu. Lalu kedua daun pintu yang 
tinggi dan berat itu bergetar beberapa detik 
seolah keduanya terbuat dari sutra, kemudian 
luluh lantak hingga tidak tersisa apa pun kecuali 
tumpukan debu di ambang pintu. 

"Fiuh!" siul Digory. 

"Apakah majikan penyihirmu, pamanmu, punya 
kekuatan sepertiku?" tanya sang ratu, dia 
mencengkeram keras tangan Digory lagi. "Tapi 
aku akan tahu sendiri nanti. Sementara itu, 
ingatlah apa yang telah kaulihat. Inilah yang 
terjadi pada benda-benda, juga orang-orang, 
yang menghalangi kehendakku." 

Cahaya yang jauh lebih terang daripada yang 
telah kedua anak itu lihat di negeri ini kini 
meruah melalui lubang pintu yang terbuka 
lebar, lalu ketika sang ratu membimbing mereka 
melewatinya mereka tidak terkejut ketika mendapati 
diri mereka berada di udara terbuka. 
Angin yang menerpa wajah mereka terasa dingin, 
tapi entah kenapa lembap dan tidak 
segar. Mereka kini berada di teras tinggi, di 
bawah mereka terbentang daratan luas. 

Rendah di bawah dan di dekat horison, 
bergantung matahari merah besar, lebih besar 
daripada matahari kita. Digory langsung merasa 
matahari itu juga berusia lebih tua daripada 
matahari kita: matahari yang mendekati ajal, 
lelah menatap dunia di bawahnya. Di sebelah 
kiri matahari itu, lebih tinggi di atas, tampak 
sebuah bintang, besar dan bersinar terang. 
Hanya dua benda itu yang terlihat di langit 
kelam, keduanya membentuk kelompok muram. 
Dan di bumi, di setiap arah, sejauh mata bisa 
memandang, terbentang kota luas tempat tidak 
terlihat satu pun makhluk hidup di dalamnya. 
Dan semua kuil, menara, istana, piramid, juga 
jembatan menciptakan bayangan-bayangan panjang 
yang tampak mengancam di bawah sinar 
matahari yang melemah itu. Sebuah sungai 
besar pernah mengalir menembus kota tersebut, 
tapi airnya telah lama mengering, dan kini 
yang tersisa tinggal selokan lebar abu-abu berdebu. 


"Pandanglah baik-baik pemandangan yang 
tidak akan pernah dilihat mata mana pun 
lagi," kata sang ratu. "Begitulah Charn, kota 
menakjubkan, kota Raja di antara para Raja, 
keajaiban dunia, mungkin keajaiban semua dunia. 
Apakah pamanmu memerintah kota sehebat 
ini, Nak?" 

"Tidak," kata Digory. Dia baru berniat menjelaskan 
Paman Andrew tidaklah memerintah 
kota apa pun, tapi sang ratu sudah melanjutkan: 

"Kota ini sunyi sekarang. Tapi aku telah 
berdiri di sini ketika seluruh udara dipenuhi 
suara Charn. Entakan langkah kaki, derak 
roda, lecutan pecut, dan erangan para budak, 
gemuruh kereta kuda, dan gendang-gendang 
pengorbanan ditabuh di kuil-kuil. Aku telah 
berdiri di sini (tapi saat itu akhir sudah begitu 
dekat) ketika pekikan perang terdengar dari 
setiap jalan dan air yang mengalir di Sungai 
Charn berwarna merah." Dia berhenti sejenak 
lalu menambahkan, "Dalam satu detik, semua 
itu telah dihapus oleh seorang wanita untuk 
selama-lamanya." 

"Siapa?" tanya Digory dengan suara pelan, 
tapi dia telah menebak jawabannya. 
"Aku," jawab sang ratu. "Aku, Jadis si ratu 
terakhir, juga ratu seluruh dunia." 
Kedua anak itu berdiri dalam diam, tubuh 
mereka gemetar dalam angin dingin. 

"Semua karena salah saudariku," kata sang 
ratu. "Dia yang membuatku melakukan itu. 
Semoga kutukan segala Kekuatan mengikatnya 
selamanya! Aku sudah siap berdamai kapan 
saja—ya, juga untuk mengampuni jiwanya, kalau 
saja dia membiarkan takhta menjadi milikku. 
Tapi tidak. Keangkuhannya telah menghancurkan 
seluruh dunia. Bahkan setelah perang 
dimulai, ada perjanjian sah bahwa tidak ada 
pihak yang boleh menggunakan Sihir. Tapi 
ketika dia melanggar janjinya itu, apa lagi 
yang bisa kulakukan? Bodoh! Seolah dia tidak 
tahu aku punya lebih banyak Sihir daripada 
dirinya! Dia bahkan tahu aku memiliki rahasia 
Kata Kemalangan. Apakah dia pikir—tapi dia 
memang selalu jadi yang terlemah di antara 
kami—aku tidak akan menggunakannya?" 
"Apa itu?" tanya Digory. 

"Rahasia di antara semua rahasia," kata 
Ratu Jadis. "Telah lama menjadi pengetahuan 
semua raja besar ras kami bahwa ada kata 
yang, kalau diucapkan dengan upacara layak, 
bisa menghancurkan seluruh makhluk hidup 
kecuali orang yang mengucapkannya. Tapi para 
raja zaman dahulu lemah dan berhati lembek. 
Mereka mengikat diri mereka sendiri dan semua 
orang yang mendatangi mereka, dengan sumpah 
besar untuk tidak akan pernah bahkan berusaha 
mencari pengetahuan tentang kata itu. 
Tapi aku telah mempelajarinya di tempat rahasia 
dan membayar harga mahal untuk mempelajarinya. 
Aku tidak menggunakannya hingga 
saudaraiku memaksaku. Aku bertempur untuk 
mengatasinya dengan berbagai cara lain. 
Aku menumpahkan darah pasukanku seperti 
air—" 

"Monster!" gumam Polly. 

"Pertempuran besar terakhir," kata sang ratu, 
"pecah selama tiga hari di Charn ini. Selama 
tiga hari aku memandang ke bawah, mengawasinya 
dari tempat ini. Aku tidak menggunakan 
kekuatanku hingga prajurit terakhirku terjatuh, 
lalu wanita terkutuk itu, saudariku, berjalan 
di depan para pemberontaknya dan sudah 
setengah jalan menaiki tangga-tangga besar 
yang menghubungkan kota dengan teras ini. 
Kemudian aku menunggu hingga kami begitu 
dekat supaya kami bisa menatap wajah satu 
sama lain. Dia membinarkan mata kejamnya 
yang mengerikan saat memandangku dan berkata, 
'Kemenangan.' 'Ya,' aku berkata, 'Kemenangan, 
tapi bukan kemenanganmu.' Kemudian 
aku mengucapkan Kata Kemalangan. Sedetik 
kemudian aku adalah makhluk hidup terakhir 
di bawah matahari." 

"Tapi bagaimana dengan orang-orang lain?" 
Digory terperangah. 
"Orang-orang lain apa, Nak?" tanya sang 
ratu. 

"Semua rakyat biasa," kata Polly, "orangorang 
yang tidak pernah melukaimu. Dan semua 
wanita, anak-anak, juga hewan-hewan." 

"Tidakkah kau mengerti?" tanya sang ratu 
(masih berbicara pada Digory). "Aku adalah 
ratu. Mereka semua rakyatku. Untuk apa lagi 
mereka ada kalau bukan untuk melaksanakan 
kemauanku?" 

"Tetap saja malang benar nasib mereka," 
kata Digory. 
"Aku lupa kau hanyalah anak biasa. Bagaimana 
mungkin kau mengerti logika sebuah 
Negeri? Kau harus belajar, Nak, bahwa apa 
yang mungkin salah bagimu dan rakyat biasa 
lainnya tidaklah salah bagi ratu besar seperti 
diriku. Beban dunia berada di bahu kami. 
Kami harus dibebaskan dari segala peraturan. 
Jalan nasib kami tinggi dan sepi." 

Digory mendadak teringat Paman Andrew 
pernah menggunakan kata-kata yang persis 
sama. Tapi kata-kata itu terdengar lebih anggun 
ketika Ratu Jadis yang mengucapkannya, mungkin 
karena Paman Andrew tidaklah setinggi 
210 sentimeter dan cantik memesona. 

"Kemudian apa yang kaulakukan setelahnya?" 
kata Digory. 

"Aku telah memasang mantra-mantra kuat 
di aula tempat patung-patung leluhurku duduk. 
Dan kekuatan mantra-mantra itu akan membuatku 
tertidur bersama mereka, juga seperti 
patung dan tidak membutuhkan makanan maupun 
api, walaupun untuk ribuan tahun lamanya, 
sampai seseorang datang, memukul bel, 
dan membangunkanku." 

"Apakah Kata Kemalangan yang menjadikan 
matahari begitu?" tanya Digory. 

"Seperti apa?" kata Jadis. 

"Begitu besar, begitu merah, dan begitu dingin."
"Sejak dulu selalu begitu," kata Jadis. "Setidaknya, 
selama ratusan ribu tahun. Apakah 
duniamu memiliki jenis matahari yang berbeda?" 


"Ya, matahari kami lebih kecil dan kuning. 
Juga memberi lebih banyak panas." 

Sang ratu mengeluarkan suara panjang. "A-aah!" 
Dan di wajahnya Digory melihat ekspresi 
lapar dan serakah yang sama dengan yang 
pernah dilihatnya pada wajah Paman Andrew. 
"Jadi," katanya, "duniamu dunia yang lebih 
muda." 

Dia berhenti sejenak untuk melihat sekali 
lagi kota terlantar itu—kalaupun dia merasakan 
penyesalan atas segala kejahatan yang telah 
dilakukannya di sana, dia tidak menunjukkannya 
sama sekali—kemudian berkata: 

"Nah, ayo kita berangkat. Dingin di sini di 
akhir segala zaman." 
"Berangkat ke mana?" tanya kedua anak 
itu. 
"Ke mana?" ulang Jadis terkejut. "Tentu 
saja ke duniamu." 

Polly dan Digory bersitatap, terpaku ketakutan. 
Sejak awal Polly sudah tidak menyukai 
sang ratu, dan bahkan Digory, kini setelah dia 
mendengar ceritanya, merasa telah cukup men
dengar tentang wanita itu. Jelas sekali, dia 
bukanlah sejenis orang yang ingin kita ajak 
pulang. Dan kalaupun mereka menyukainya, 
mereka tidak tahu bagaimana caranya. Mereka 
sendiri ingin pergi dari sana, tapi Polly tidak 
bisa meraih cincinnya dan tentu saja Digory 
tidak bisa pergi tanpanya. Wajah Digory menjadi 
merah sekali dan dia berkata dengan terbata-
bata. 

"Oh—oh—dunia kami. Aku ti-tidak raenyangka 
kau mau pergi ke sana." 
"Untuk apa lagi kau dikirim ke sini kalau 
bukan untuk menjemputku?" tanya Jadis. 

"Aku yakin kau tidak akan menyukai dunia 
kami sama sekali," kata Digory. "Bukan tempat 
yang pantas untukmu, ya kan, Polly? Membosankan 
sekali di sana, benar-benar tidak 
pantas untuk dilihat." 

"Tak lama lagi pasti akan jadi pantas dilihat 
begitu aku memerintahnya," jawab sang ratu. 

"Oh, tapi kau tidak bisa melakukan itu," 
kata Digory. "Keadaannya berbeda. Mereka 
tidak akan membiarkanmu." 

Di wajah sang ratu terkembang senyum meremehkan. 
"Banyak raja hebat," katanya, "berpikir 
mereka bisa bertahan melawan Kerajaan 
Charn. Tapi mereka semua terjatuh dan nama
mereka dilupakan. Bocah bodoh! Apakah kaupikir 
aku, dengan kecantikan dan Sihir-ku, 
tidak akan memiliki seluruh duniamu di bawah 
kakiku sebelum satu tahun berlalu? Siapkan 
mantramu dan segera bawa aku ke sana." 

"Ini mengerikan sekali," kata Digory ke 
Polly. 

"Mungkin kau mengkhawatirkan pamanmu," 
kata Jadis. "Tapi kalau dia menghormatiku 
dengan tulus, dia diperkenankan menyimpan 
nyawa dan takhtanya. Aku tidak datang untuk 
berperang melawannya. Dia pasti penyihir besar 
karena telah menemukan cara mengirimmu ke 
sini. Apakah dia raja seluruh duniamu atau 
hanya sebagian?" 

"Dia bukan raja daerah mana pun," jawab 
Digory. 

"Kau berbohong," kata sang ratu. "Bukankah 
Sihir selalu diturunkan lewat darah bangsawan? 
Siapa yang pernah mendengar rakyat 
biasa menjadi penyihir? Aku bisa melihat kebenaran 
biarpun tidak kauucapkan. Pamanmu 
adalah raja besar dan ahli sihir terhebat di 
duniamu. Dan dengan kemampuannya dia telah 
melihat bayangan wajahku, pada semacam cermin 
ajaib atau mata air bertuah. Lalu karena 
kekagumannya akan kecantikanku dia telah 
membuat mantra kuat yang mengguncang 
duniamu hingga ke akarnya, mengirimmu melewati 
padang pasir luas di antara dunia dan 
dunia untuk meminangku, membawaku ke hadapannya. 
Jawablah: bukankah begitu kejadiannya?" 


"Yah, tidak juga sih," jawab Digory. 
"Tidak juga?" teriak Polly. "Semua itu benarbenar 
omong kosong sejak awal sampai akhir." 

"Makhluk rendah!" teriak sang ratu, menoleh 
penuh kemarahan ke arah Polly dan menjambak 
rambutnya, di bagian paling atas kepalanya, 
di tempat yang paling menyakitkan. Tapi 
dengan melakukan itu dia melepaskan kedua 
tangan Digory dan Polly. "Sekarang," teriak 
Digory, dan "Cepat!" teriak Polly. Mereka 
membenamkan tangan kiri mereka ke saku. 
Mereka bahkan tidak perlu mengenakan cincincincin 
itu. Di detik mereka menyentuh cincin, 
keseluruhan dunia suram itu lenyap dari penglihatan 
mereka. Mereka kini bergerak naik 
dengan cepat dan cahaya hijau hangat semakin 
mendekat di atas mereka. 

BAB 4 Bel dan Palu

Diposting oleh Naillatul Fadilah Fitri di 00.33 0 komentar
SIHIR kali ini tidak perlu diragukan lagi.
Ke bawah dan terus ke bawah mereka
berkelebat pergi, pertama melalui kegelapan
kemudian melewati kumpulan sosok samar yang
berputar-putar, yang bisa jadi apa saja. Lalu
situasi menjadi lebih terang. Kemudian mendadak
mereka berdiri di atas sesuatu yang padat.
Sesaat kemudian segalanya jadi lebih fokus dan
mereka mampu melihat ke atas mereka.
"Tempat ini aneh sekali!" kata Digory.
"Aku tidak menyukainya," kata Polly, sambil
agak merinding.

Yang pertama kali mereka sadari adalah
cahaya. Tidak seperti sinar mentari, tapi juga
tidak seperti cahaya listrik, lampu, lilin, atau
sumber cahaya apa pun yang pernah mereka
lihat. Cahayanya samar, agak kemerahan, sama
sekali tidak cerah. Cahaya itu terangnya pasti 
dan tidak meredup. Mereka sedang berdiri di 
permukaan datar berlapis bebatuan dan gedunggedung 
berdiri di sekeliling mereka. Tidak ada 
atap di atas mereka, mereka berada di semacam 
halaman. Langit gelap secara tidak wajar— 
biru yang nyaris hitam. Kalau kau melihat 
langit itu kau akan bertanya-tanya apakah 
memang benar ada cahaya di sana. 

"Cuaca tempat ini aneh sekali ya," kata 
Digory. "Atau mungkin kita tiba tepat pada 
saat akan datang badai petir, atau gerhana." 

"Aku tidak menyukainya," kata Polly. 

Keduanya, tanpa tahu pasti kenapa, berbicara 
dengan berbisik. Dan walaupun tidak ada 
alasan kenapa mereka masih terus bergandengan 
setelah melompat, mereka tidak saling 
melepaskan tangan. 

Dinding-dinding gedung menjulang sangat 
tinggi di sekeliling halaman. Dinding-dinding 
itu juga memiliki banyak jendela, jendela-jendela 
tanpa kaca, melaluinya kau tidak bisa melihat 
apa pun kecuali kegelapan hitam. Di bagian 
bawah dinding ada area-area berpilar besar, 
menganga lebar menampilkan lubang hitam 
besar seperti mulut terowongan kereta api. 
Suasana jadi terasa agak dingin. 
Batu yang digunakan untuk membangun se-
gala hal sepertinya merah, tapi mungkin itu 
hanya karena cahaya misterius yang menerangi 
tempat tersebut. Yang pasti rasanya aneh sekali. 
Banyak di antara bebatuan datar yang melapisi 
permukaan halaman, retak hingga terbelah. Tidak 
satu pun menempel rapat satu sama lain 
dan sudut-sudut tajamnya telah cacat semua. 
Salah satu pintu yang diapit area setengahnya 
tertutupi reruntuhan. Kedua anak itu terusmenerus 
membalikkan tubuh untuk melihat ke 
sudut-sudut berbeda di halaman. Salah satu 
alasannya adalah karena mereka khawatir seseorang—
atau sesuatu—sedang mengawasi mereka 
dari jendela-jendela ketika mereka menghadap 
ke depan. 

"Menurutmu ada yang tinggal di sini, tidak?" 
tanya Digory akhirnya, masih dengan berbisik. 

"Tidak," jawab Polly. "Semua ini hanya 
reruntuhan. Kita belum mendengar suara apa 
pun sejak datang ke sini." 

"Ayo kita coba berdiri diam sebentar dan 
menajamkan pendengaran," saran Digory. 

Mereka berdiri diam dan mendengarkan, tapi 
satu-satunya yang mereka dengar hanyalah detakan 
jantung mereka sendiri. Tempat ini setidaknya 
sesunyi Hutan di Antara Dunia-dunia. 
Tapi sepinya berbeda. Kesunyian di hutan terasa 
kaya, hangat (kau nyaris bisa mendengar pepohonan 
bertumbuh), dan penuh kehidupan. 
Kali ini yang terasa kesunyian yang mati, dingin, 
dan hampa. Kau tidak bisa membayangkan 
apa pun tumbuh di tempat ini. 
"Ayo pulang," kata Polly. 

"Tapi kita belum melihat apa pun," kata 
Digory. "Berhubung kita sudah sampai di sini, 
setidaknya kita harus melihat-lihat." 

"Aku yakin sama sekali tidak ada yang 
menarik di sini." 

"Tidak ada gunanya menemukan cincin ajaib 
yang bisa membawamu ke dunia lain kalau 
kau takut menjelajahi dunia-dunia itii begitu 
sudah sampai di sana." 

"Siapa yang bilang aku takut?" kata Polly, 
melepaskan tangan Digory. 
"Aku hanya mengira kau tampak kurang 
berminat menjelajahi tempat ini." 
"Aku akan pergi ke mana pun kau mau 
pergi." 

"Kita bisa pergi dari sini kapan pun kita 
mau," kata Digory. "Ayo kita lepas cincin 
hijau kita dan menyimpannya di saku kanan. 
Yang perlu kita lakukan hanyalah mengingat 
bahwa cincin kuning kita ada di saku kiri. 
Kau bisa meletakkan tangan sedekat yang kauinginkan 
dengan saku-saku itu, tapi jangan 
kaumasukkan tanganmu ke saku karena kau 
bisa saja menyentuhnya dan lenyap." 

Mereka melakukan itu dan berjalan tanpa 
suara menuju salah satu gerbang lengkung besar 
yang membawa mereka ke dalam salah satu 
gedung. Lalu ketika berdiri di depan pintu 
dan bisa melihat ke dalam, mereka melihat 
bagian dalam gedung itu tidaklah terlalu gelap 
seperti dugaan awal mereka. Pintu itu memperlihatkan 
ruang depan berbayang-bayang yang 
tampaknya kosong, tapi di sisi ruang depan 
yang lebih jauh tampak sederetan pilar dengan 
lengkungan di bagian atas tiap dua pilar. Di 
balik lengkungan tersebut mengalir lebih banyak 
cahaya temaram aneh yang sama. Mereka menyeberangi 
ruang depan tersebut, berjalan dengan 
sangat hati-hati karena khawatir ada 
lubang-lubang di lantai atau apa pun yang 
mungkin tergeletak di sana yang bisa membuat 
mereka tersandung. Perjalanan itu rasanya lama 
sekali. Ketika mencapai sisi lain ruang itu, 
mereka melewati pilar-pilar dan mendapati diri 
mereka berada di halaman lain yang lebih 
luas. 

"Sepertinya tempat itu tidak terlalu aman," 
kata Polly sambil menunjuk ke suatu tempat 
di mana dindingnya condong ke depan dan 
tampak siap runtuh ke halaman. Di satu tempat 
ada pilar yang hilang di antara dua lengkungan 
dan bagian yang seharusnya berada di bagian 
atas pilar, hanya bergantung di sana tanpa disangga apa pun. Tampak jelas, kota itu telah 
diterlantarkan selama ratusan, bahkan mungkin 
ribuan, tahun. 

"Kalau tempat ini bertahan hingga saat ini, 
kurasa akan bisa bertahan lebih lama lagi," 
kata Digory. "Tapi kita harus benar-benar bergerak 
tanpa suara. Kau tahu bukan terkadang 
suara pelan sekalipun bisa membuat segalanya 
runtuh—seperti salju longsor di Pegunungan 
Alpen." 

Mereka keluar dari halaman itu menuju gerbang 
lain, menaiki tangga besar nan tinggi, 
dan melalui ruang-ruang luas yang terbuka 
menuju ruang-ruang lain sampai kau merasa 
pusing hanya karena ukuran tempat itu. Sesekali 
mereka mengira bakal keluar ke tempat 
terbuka dan melihat dataran macam apa yang 
mengelilingi istana besar itu. Tapi setiap kali 
berjalan, mereka hanya mencapai halaman lain. 
Istana ini pastinya merupakan tempat yang 
luar biasa saat penduduknya masih tinggal di 
sini. Di salah satu sisi ada patung yang dulu 
adalah air mancur. Monster batu besar dengan 
sayap terentang lebar berdiri dengan mulut 
terbuka dan kau bisa melihat pipa kecil di 
bagian belakang mulutnya, dari sanalah dulu 
air keluar. Di bawah patung itu ada mangkuk 
batu lebar untuk menadahi airnya, tapi kini 
mangkuk itu kering bagaikan padang pasir. 

Di tempat-tempat lain ada batang-batang 
kering sejenis tanaman rambat yang telah tumbuh 
mengelilingi pilar-pilar dan membuat sebagian 
pilar tersebut runtuh. Tapi tanaman itu
sudah lama mati. Dan tidak ada semut, labahlabah, 
atau makhluk hidup lain yang kaupikir 
bisa kautemui di antara reruntuhan. Tanah 
kering yang terdapat di antara batu lantaibatu 
lantai pun tidak ditumbuhi rumput atau 
lumut. 

Keadaan di tempat itu begitu mati di seluruh 
sudutnya hingga bahkan Digory pun mulai 
berpikir sebaiknya mereka segera mengenakan 
cincin kuning dan kembali ke hutan hidup 
yang hangat dan hijau di tempat antara. Pada 
saat itulah mereka menemukan dua daun pintu 
raksasa yang terbuat dari sejenis logam yang 
mungkin saja emas. Salah satu daun pintu itu 
sedikit terbuka. Jadi tentu saja mereka masuk 
untuk melihat ke dalam. Keduanya terkejut 
dan menarik napas panjang: karena di sinilah 
akhirnya ada sesuatu yang pantas dilihat. 

Selama beberapa saat mereka berpikir 
ruangan tersebut dipenuhi orang—ratusan 
orang, semuanya sedang duduk, dan semuanya 
bergeming. Polly dan Digory juga, seperti yang 
bisa kautebak, berdiri tanpa bergerak cukup 
lama karena melihat pemandangan di depan 
mereka. Tapi akhirnya mereka memutuskan 
yang sedang mereka pandangi tidaklah mungkin 
orang sungguhan. Tidak ada gerakan maupun 
suara embusan napas di antara mereka semua. 
Orang-orang itu seperti patung lilin terhebat 
yang pernah kaulihat. 

Kali ini Polly yang berjalan duluan. Ada 
sesuatu di ruangan ini yang menarik rasa ingin 
tahunya dibanding rasa ingin tahu Digory: 
semua sosok di sana mengenakan pakaian yang 
menakjubkan. Kalau kau sedikit saja tertarik 
pada pakaian, kau tidak akan tahan untuk 
tidak melihat lebih dekat. Berkas-berkas warna 
pada pakaian-pakaian ini pun membuat 
ruangan itu tampak, meski tidak bisa dibilang 
ceria, begitu kaya dan anggun setelah semua 
debu dan kekosongan di tempat lain. Ruangan 
itu juga memiliki lebih banyak jendela dan 
jauh lebih terang. 

Aku nyaris tidak bisa melukiskan pakaianpakaian 
mereka. Sosok-sosok itu semuanya berjubah 
dan mengenakan mahkota di kepala 
mereka. Jubah-jubah mereka berwarna merah 
tua, abu-abu keperakan, ungu tua, dan hijau 
gelap. Tampak pola-pola hias, juga gambar 
bunga, hewan liar ajaib, disulam di permukaan 
jubah-jubah tersebut. Batu-batu berharga dalam 
ukuran dan kilau menakjubkan menatap dari 
mahkota-mahkota mereka, juga dari kalungkalung 
yang menggantung di sekeliling leher
mereka, mengintip dari segala tempat semuanya 
terpasang. 
"Kenapa semua pakaian itu tidak lapuk sejak 
zaman dulu?" tanya Polly. 

"Sihir," bisik Digory. "Tidakkah kau bisa 
merasakannya? Aku berani bertaruh seluruh 
ruangan ini beku karena mantra sihir. Aku 
bisa merasakannya sejak detik pertama kita 
masuk." 

"Satu saja pakaian ini bisa berharga ratusan 
pound" komentar Polly. 

Tapi Digory lebih tertarik pada wajah-wajah 
mereka, dan memang semua wajah itu pantas 
dipandangi. Orang-orang itu duduk di kursi 
batu mereka di masing-masing sisi ruangan, 
bagian tengahnya dibiarkan kosong. Kau bisa 
berjalan dan memandangi wajah-wajah itu bergiliran. 
"Mereka orang-orang baik, menurutku," 
ucap Digory. 

Polly mengangguk. Semua wajah yang bisa 
mereka lihat memang tampak baik. Baik para 
pria maupun wanitanya tampak ramah dan 
bijaksana, dan mereka tampaknya berasal dari 
keturunan berwajah tampan. Tapi setelah anakanak 
itu berjalan beberapa langkah lebih jauh 
di ruangan tersebut, mereka sampai pada 
wajah-wajah yang tampak agak berbeda. 
Wajah-wajah di sini begitu serius. Kau akan 
merasa perlu memerhatikan etiket dan sopan 
santun bila bertemu orang-orang seperti itu 
dalam kehidupanmu. Ketika Polly dan Digory 
berjalan lebih jauh lagi, mereka mendapati diri 
mereka berada di antara wajah-wajah yang 
tidak mereka sukai: ini terjadi kira-kira di 
tengah ruangan. Wajah-wajah itu tampak begitu 
kuat, bangga, dan bahagia, tapi mereka tampak 
kejam. Dan saat mereka lebih jauh berjalan, 
wajah-wajah di sana tampak lebih kejam. Lebih 
jauh lagi, mereka masih tampak kejam tapi 
tidak lagi tampak bahagia. Wajah-wajah itu 
bahkan tampak penuh keputusasaan: seolah 
pemilik-pemiliknya telah melakukan hal-hal buruk 
dan menderita karena hal-hal buruk. Sosok 
terakhir dari deretan orang itu adalah yang
paling menarik—wanita yang pakaiannya lebih 
mewah daripada yang lainnya, sangat tinggi 
(tapi semua sosok dalam ruangan itu memang 
lebih tinggi daripada orang-orang di dunia 
kita), dengan ekspresi wajah yang begitu keras 
dan penuh kebanggaan sehingga kau akan 
menahan napas bila melihatnya. Namun wanita 
itu juga cantik. Bertahun-tahun kemudian, saat 
telah menjadi pria tua, Digory berkata dia 
belum pernah melihat orang secantik wanita 
itu selama hidupnya. Tapi wajar juga bila 
ditambahkan bahwa Polly berkata dia tidak 
melihat apa pun yang spesial pada wanita itu. 

Wanita ini, seperti yang kukatakan tadi, adalah 
sosok terakhir, tapi ada banyak kursi kosong 
setelahnya, seolah ruangan itu telah dimaksudkan 
untuk lebih banyak lagi koleksi 
sosok. 

"Aku ingin sekali tahu cerita di balik semua 
ini," kata Digory. "Ayo kembali dan melihat 
meja di tengah ruangan ini." 

Benda yang berada di tengah ruangan itu 
sebenarnya bukanlah meja. Benda itu pilar 
kotak setinggi kira-kira semeter lebih dan di 
atasnya berdiri arca emas yang digantungi bel 
emas kecil. Di samping pilar itu tergeletak 
palu emas kecil untuk membunyikan belnya. 
"Kira-kira apa ya... Hmmm... Apa ya...," 
kata Digory. 

"Sepertinya ada sesuatu yang tertulis di sini," 
kata Polly, menundukkan badan dan memandangi 
salah satu pilar tersebut. 

"Ya ampun, ternyata memang ada," ucap 
Digory. "Tapi tentu saja kita tidak akan bisa 
membacanya." 

"Benarkah begitu? Aku tidak yakin," kata 
Polly. 

Mereka berdua memandangi tulisan itu lekatlekat, 
seperti yang mungkin sudah kauduga, 
huruf-huruf yang dipahat ke batu pilar itu 
memang aneh. Tapi kini terjadi keajaiban besar: 
karena saat mereka memandanginya, walaupun 
bentuk huruf-huruf aneh itu tidak berubah, 
mereka mendapati diri mereka bisa memahami 
semuanya. Kalau saja Digory ingat kata-katanya 
sendiri beberapa saat lalu, bahwa ini ruangan 
yang tersihir, mungkin dia bakal bisa menebak 
sihirnya mulai bekerja. Tapi rasa penasaran 
terlalu menguasai dirinya, sehingga dia tidak 
bisa memikirkan itu. Dia semakin ingin tahu 
apa yang tertulis di pilar tersebut. Dan tak 
lama kemudian mereka berdua pun tahu. Yang 
tertulis adalah sesuatu yang kira-kira begini 
bunyinya—setidaknya inilah yang bisa dicerna 
walaupun puisi itu sendiri, ketika kau membacanya 
di sana, lebih bagus: 

Tentukan pilihan, wahai petualang asing, 

Bunyikan bel, dan hadapi bahaya genting, 

Atau teruslah penasaran, hingga lenyap kewarasan, 

Akan apa yang bakal terjadi 

bila saja kaulakukan. 

"Apa ini?" seru Polly. "Kita kan tidak mau 
mendapatkan bahaya apa pun." 

"Ah, tapi tidakkah kau sadar tidak ada 
pilihan lain?" tanya Digory. "Tidak mungkin 
kita bisa menghindar sekarang. Kita bakal selalu 
bertanya-tanya apa yang akan terjadi kalau 
saja kita membunyikan bel ini. Aku tidak mau 
pulang lalu penasaran setengah mati karena 
selalu mengingatnya. Tidak perlu takut!" 

"Jangan konyol begitu," kata Polly. "Memangnya 
bakal ada orang yang mati karena 
penasaran? Siapa yang peduli apa yang bakal 
terjadi?" 

"Menurutku semua orang yang sudah pergi 
sejauh ini bakal terus bertanya-tanya sampai 
membuatnya tidak waras. Itulah Sihir yang 
menguasai tempat ini. Aku bahkan bisa merasakannya 
mulai bekerja pada diriku." 
"Yah, kalau aku tidak," kata Polly ketus. 
"Dan aku tidak percaya kau merasakannya. 
Kau hanya mengarang." 

"Karena memang hanya itu yang kauketahui," 
kata Digory. "Soalnya kau perempuan. 
Perempuan tidak pernah mau tahu apa 
pun kecuali gosip dan meributkan orang-orang 
yang bertunangan." 

"Kau benar-benar mirip pamanmu waktu 
berkata begitu, tahu," kata Polly. 

"Kenapa kau mengubah topik pembicaraan?" 
kata Digory. "Kita kan sedang membicarakan—" 


"Benar-benar seperti pria dewasa!" kata Polly 
dengan suara yang begitu dewasa, tapi dia 
buru-buru menambahkan, dengan suara biasanya, 
"Dan jangan bilang aku juga bersikap 
seperti wanita, karena dengan begitu kau hanya 
peniru yang payah." 

"Aku bahkan tidak pernah bermimpi raemanggil 
anak kecil sepertimu wanita," kata 
Digory angkuh. 

"Oh, jadi aku anak kecil, ya?" tanya Polly, 
yang kini benar-benar marah. "Yah, kalau 
begitu kau tidak perlu direpotkan dengan kehadiran 
anak kecil lagi. Aku akan pergi. Aku 
sudah muak dengan tempat ini. Dan aku juga
sudah muak padamu—dasar payah, sombong, 
keras kepala!" 

"Jangan lakukan itu!" kata Digory dengan 
suara yang lebih galak daripada yang dimaksudkannya, 
karena dia melihat tangan Polly 
bergerak ke saku untuk mengambil cincin kuningnya. 
Aku tidak bisa memaklumi apa yang 
selanjutnya dia lakukan kecuali dengan mengatakan 
Digory sangat menyesalinya di kemudian 
hari (begitu juga begitu banyak orang 
baik lainnya). Sebelum tangan Polly sampai di 
sakunya, Digory mencengkeram pergelangan tangan 
Polly, menahan tubuh Polly dengan punggungnya. 
Lalu, sambil menghalangi lengan Polly 
yang satu lagi dengan siku lainnya, Digory 
membungkuk ke depan, meraih palu, dan membunyikan 
bel emas itu dengan pukulan pelan 
tapi pasti. Kemudian dia melepaskan Polly dan 
mereka berdua terjatuh sambil saling menatap 
dan terengah-engah keras. Polly mulai menangis, 
bukan karena ketakutan, dan bahkan 
bukan karena Digory telah menyakiti pergelangan 
tangannya, tapi karena marah luar biasa. 
Namun dua detik kemudian, ada sesuatu yang 
menyita pikiran mereka sehingga pertengkaran 
itu pun terlupakan. 

Begitu dipukul bel itu mengeluarkan nada,
nada indah seperti yang mungkin sudah kauduga, 
tidak terlalu keras pula. Tapi bukannya 
menghilang ditelan angin, nada itu terus terdengar, 
dan ketika itu terjadi bunyinya kian 
mengeras. Sebelum semenit berlalu, bunyinya 
kini telah menjadi dua kali lebih keras daripada 
ketika kali pertama bersuara. Tak lama kemudian 
suaranya kian mengeras sehingga jika 
kedua anak itu berusaha berbicara (tapi mereka 
tidak berniat berbicara saat ini—mereka hanya 
berdiri di sana dengan mulut ternganga) mereka 
tidak bakal bisa mendengar satu pun ucapan 
mereka. Beberapa saat kemudian bunyinya sudah 
menjadi begitu keras sehingga mereka tidak 
bakal bisa mendengar satu sama lain bahkan 
kalaupun mereka berteriak. Dan suaranya terus 
saja mengeras: semua dalam satu nada, suara 
indah yang tak berakhir, walaupun ada sesesuatu 
yang mengerikan dalam keindahan itu, 
hingga semua udara dalam ruangan besar itu 
seolah berdenyut karenanya dan mereka bisa 
merasakan lantai batu di kaki mereka bergetar. 
Kemudian akhirnya suara bel itu mulai bercampur 
dengan bunyi lain, suara samar mengerikan 
yang awalnya terdengar seperti geraman 
kereta yang datang dari kejauhan, kemudian 
seperti gebrakan pohon tumbang. Mereka 
mendengar sesuatu seperti benda-benda berat 
berjatuhan. Akhirnya, bersamaan dengan gemuruh 
yang mendadak, dan guncangan yang nyaris 
membuat mereka terbang di udara, sekitar 
seperempat langit-langit di salah satu ujung 
ruangan mulai runtuh, bongkahan-bongkahan 
batu besar berjatuhan di sekitar mereka, dan 
dinding-dinding rontok. Suara bel berhenti. 
Awan debu menipis dan akhirnya menghilang. 
Segalanya menjadi sunyi kembali. 

Tidak pernah diketahui apakah runtuhnya 
langit-langit itu disebabkan Sihir, ataukah karena 
suara keras tak tertahankan dari bel itu 
kebetulan mencapai not yang memecah pertahanan 
dinding-dinding rapuh itu. 

"Nah! Kuharap kau puas sekarang," bentak 
Polly. 
"Yah, toh sekarang sudah berakhir," kata 
Digory. 

Keduanya punya pikiran yang sama, namun 
belum pernah dalam seumur hidup mereka, 
mereka begitu keliru. 
 

Bienvenue Copyright © 2011 Design by Ipietoon Blogger Template | web hosting